SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI, SUGENG RAWUH, SUGENG LENGGAH SINAMBI NYIMAK

Jumat, 23 Juli 2021

JUARA 2 FLS2N MENYANYI TUNGGAL KAB WONOSOBO

WALAU PANDEMI TETAP RAIH PRESTASI

 

Assalaamu’alaikum Wr. Wb

Hallo guys….selamat bertemu lagi dengan kami keluarga besar SMP Negeri 4 kepil kabupaten Wonosobo……. Saat ini memang masih masa Pandemi Covid-19,  yang entah kapan akan berakhir???, namun semua itu tidak menyurutkan semangat kami untuk selalu berkreasi, khususnya dalam bidang Pendidikan.

Kali ini SMP N 4 kepil akan menyajikan berbagai kegiatan terutama yang berkaitan dengan lomba baik FLS2N maupun yang lain.

Untuk lomba FLS2N, kami menampilkan dua cabang lomba yaitu :

1.      1.    Lomba Menyanyi Solo

2.      2.    Kreatifitas Seni Musik Tradisional

Dua macam lomba tersebut sudah terlaksana dan alhamdulillah berkat doa dan kesungguhan dari para siswa dan para pembimbing dua cabang lomba tersebut semuanya mendapatkan Juara walaupun baru tingkat kabupaten.

Untuk Menyanyi Solo mendapatkan Juara 2 kabupaten, sedangkan Kreatifitas seni music tradisional mendapatkan Juara 3.

Semoga diwaktu yang akan datang akan lebih meningkat, baik kwantitas maupun kwalitas lomba untuk menjadi yang terbaik dan menjadi Idola bagi masyarakat sekitar.

Baiklah untuk lebih jelasnya marilah kita saksikan Video lomba tersebut .......

FLS2N 2021-SMP 4 KEPIL 

WONOSOBO JATENG -JESSICA


JUARA 3 lOMBA kREATIFITAS 
MUSIK TRADISIONAL

3.      Lomba menulis sinopsis asal usul / Babat Wonosobo dalam rangka hari Jadi Wonosobo.

Untuk lomba yang satu ini baru akan dilaksanakan, smoga anak anak mampu untuk menulis sinopsis tentang sejarah Wonosobo dari menyaksikan Video.

Lomba ini dibimbing oleh Guru bahasa Indonesia,   .... smoga juga mendapatkan Juara ya ?

Inilah salah satu Sinopsis Babat Wonosobo Karya Salah satu Siswa SMP N 4 Kepil :

LEGENDA WONOSOBO.

    Berdasarkan cerita rakyat, pada sekitar awal abad 17 tersebutlah tiga orang pengelana masing-masing bernama Kyai Kolodete, Kyai Karim dan Kyai Walik, mulai merintis suatu permukiman di daerah Wonosobo. Selanjutnya Kyai Kolodete berada di dataran tinggi Dieng, Kyai Karim berada di daerah Kalibeber dan Kyai Walik berada di sekitar kota Wonosobo sekarang ini. Di kemudian hari dikenal beberapa tokoh penguasa daerah Wonosobo seperti Tumenggung Kartowaseso sebagai penguasa daerah Wonosobo yang pusat kekuasaannya di Selomanik.

Dikenal pula tokoh bernama Tumenggung Wiroduta Wonosobo yang di Pecekelan – selanjutnya dipindahkan sebagai pusat kekuasaannya yaitu Kalilusi, kemudian ke Ledok yang  selanjutnya dipindahkan lagi di  Plobangan  selanjutnya di kota Wonosobo sekarang ini.

    Salah seorang cucu Kyai Karim juga disebut sebagai salah seorang penguasa Wonosobo. Cucu Kyai Karim tersebut dikenal sebagai Ki Singowedono yang telah mendapat hadiah satu tempat di Selomerto dari Keraton Mataram serta diangkat menjadi penguasa daerah ini namanya berganti menjadi Tumenggung Jogonegoro. Pada masa ini Pusat kekuasaan dipindahkan ke Selomerto. Setelah meninggal dunia Tumenggung Jogonegoro dimakamkan di desa Pakuncen. Selanjutnya pada masa perang Diponegoro ( 1825 - 1930 ), Wonosobo merupakan salah satu basis pertahanan pasukan pendukung Diponegoro. Beberapa tokoh penting yang mendukung perjuangan Diponegoro adalah Imam Misbach atau kemudian dikenal dengan nama Tumenggung Kertosinuwun, Mas Lurah atau Tumenggung Mangkunegaran, Gajah Permodo dan Kyai Muhamad Ngarpah. Dalam pertempuan melawan Belanda, Kyai Muhamad Ngarpah berhasil memperoleh kemenangan yang pertama. Atas keberhasilan itu Pangeran Diponegoro memberi nama kepada Kyai Muhamad Ngarpah dengan sebutan Tumenggung SETJONEGORO. Selanjutnya Tumenggung SETJONEGORO diangkat sebagai penguasa Ledok dengan gelar TUMENGGUNG SETJONEGORO. Eksistensi kekuasaan SETJONEGORO di daerah Ledok ini dapat dilihat lebih jauh dari berbagai sumber termasuk laporan Belanda yang dibuat setelah perang Diponegoro selesai. Disebutkan pula bahwa SETJONEGORO adalah Bupati yang memindahkan pusat kekuasaan dari Selomerto ke kawasan kota Wonosobo sekarang ini. Asal usul nama Wonosobo sangat erat kaitannya dengan banyaknya para pendatang. Menurut peristilahan, Wonosobo berasal dari dua kata yaitu “wono” yang artinya hutan, dan “sobo” yang artinya mengunjungi. kata Wonosobo kurang lebih artinya kawasan hutan yang banyak dikunjungi. Pada awat abad ke-17 agama Islam sudah mulai berkembang luas di daerah Wonosobo. 

    Seorang tokoh penyebar agama Islam yang sangat dikenal pada masa itu adalah Kyai Asmarasufi, yang dikenal pula sebagai menantu Ki Wiroduto salah seorana penguasa di Wonosoho Kyai Asmarasufi yang mendirikan Masjid Dukuh Bendosari dipercaya sebagai cikal-bakal atau tokoh yang kemudian menurunkan pada ulama Islam dan pemilik pondok pesantren yang ada di Wonosobo pada masa berikutnya seperti Kyai Ali Bendosari, Kyai Syukur Sholeh, Kyai Mansur Krakal, Kyai Abdulfatah Tegalgot, Kyai Soleh Pencil, Kyai As'ari, Kyai Abdul Fakih, Kyai Muntaha dan Kyai Hasbullah. Demikianlah, dari hari ke hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, waktu berjalan terus, keadaan Wonosobo makin lama makin berkembang sejalan dengan kemajuan peradaban manusia. Dan selanjutnya pada masa antara tahun 1825 - 1830 atau tepatnya pada masa Perang Diponegoro, Wonosobo merupakan satah satu medan pertempuran yang penting dan bersejarah. 

    Daerah ini adalah salah satu basis pertahanan pasukan pendukung Pangeran Diponegoro, dengan kondisi alam yang menguntungkan serta dukungan masyarakat yang sangat besar terhadap perjuangan tersebut. Beberapa medan pertempuran yang menandai perjuang pasukan pendukung Pangeran Diponegoro tersebar di Gowong, Ledok, Sapuran, Plunjaran, Kertek dan sebagainya. Di samping itu dikenal pula beberapa tokoh penting di Wonosobo yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro melawan kekuasaan kolonial Belanda. Tokoh-tokoh tersebut antara lain adalah Imam Misbach atau di kemudian hari dikenal dengan nama Tumenggung Kartosinuwun, Mas Lurah atau Tumenggung Mangkunegaran, Gajah Permodo dan Ki Muhammad Ngarpah. 

    Nama yang terakhir ini adalah tokoh penting yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro di Wonosobo. Walaupun perjuangan Muhammad Ngarpah tidak terbatas di daerah Wonosobo saja melainkan juga di daerah Purworejo, Magelang, Klaten dan sebagainya, akan tetapi keberadaan beliau sangat penting dalam sejarah Wonosobo. Muhammad Ngarpah bersama-sama Mulyosentiko memimpin pasukan pendukung Pangeran Diponegoro menghadang pasukan Belanda di Legorok dekat Pisangan Yogyakarta. Dalam pertempuran di Legorok tersebut Ki Muhammad Ngarpah bersama-sama Ki Mulyosentiko beserta pasukannya berhasil menewaskan ratusan tentara Belanda, termasuk empat orang tentara Eropa. Mereka juga berhasil mengambil emas lantakan senilai 28,00 gulden pada saat itu. Pada pencegatan di Legorok, Belanda mengatami kekalahan sehingga hanya beberapa orang saja yang dapat melarikan diri. Menurut catatan sejarah, kemenangan Ki Muhammad Ngarpah serta para pendukungnya itu adalah kemenangan pertama pasukan pendukung pangeran Diponegoro. Maka berdasarkan keberhasilan tersebut Pangeran Diponegoro memberi nama Setjonegoro kepada Muhammad Ngarpah dan nama Kertonegoro kepada Mulyosentiko. 

    Selanjutnya Setjonegoro diangkat sebagai penguasa Ledok dengan gelar Tumenggung Setjonegoro. Pada masa-masa berikutnya Setjonegoro terus aktif mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, bersama-sama dengan tokoh pendukung lainnya seperti Ki Muhammad Bahrawi atau Muhammad Ngusman Libasah, Muhammad Salim, Ngabdul Latif dan Kyai Ngabdul Radap. Dalam pertempuran di Ledok dan sekitamya,Tumenggung Setjonegoro mengerahkan 100 orang prajurit yang dipimpin oleh Mas Tumenggung Joponawang untuk menghadapi serbuan Belanda. Tumenggung Setjonegoro juga pemah mendapat tugas dari Pangeran Diponegoro untuk mengepung benteng Belanda di Bagelen. Dalam pertempuran di daerah Kedu, pemimpin pasukan Belanda bemama Letnan De Bruijn terbunuh. Selain itu Setjonegoro dan Kertonegoro juga terlibat dalam pertempuran di daerah Delanggu. Mereka memimpin pasukan ke daerah Lanjur untuk menghadang pasukan Belanda yang datang dari Klaten. 

    Dari hasil Seminar Hari Jadi Wonosobo pada tanggal 2 April 1996 (yang dihadiri oleh Tim Peneliti Hari jadi Wonosobo dari Fakultas Sastra UGM, Muspida, sesepuh dan pinisepuh Wonosobo termasuk yang ada di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, pimpinan DPRD dan pimpinan komisi serta instansi di Wonosobo), disepakati bahwa momentum Hari Jadi Wonosobo jatuh pada tanggal 24 Juli 1825, dan hal ini telah ditetapkan menjadi Perda dalam Sidang Pleno DPRD Kabupaten Wonosobo tanggal 11 Juli 1994. Dipilihnya tanggal tersebut erat kaitannya dengan peristiwa kemenangan pertama pasukan pendukung pangeran Diponegoro yang dipimpin oleh Ki Muhammad Ngarpah atau Tumenggung Setjonegoro di Legorok. Walaupun serangan yang berhasil itu tidak terjadi di wilayah Wonosobo, akan tetapi peristiwa itulah yang mengangkat karir Muhammad Ngarpah sehingga diangkat menjadi penguasa Ledok dengan gelar Tumenggung Setjonegoro.

    Adapun penguasa atau kepala pemerintahan Kabupaten Wonosobo dari tahun 1825 sampai sekarang adalah sebagai berikut :

1. Tumenggung SETJONEGORO 1825 – 1832

2. Tumenggung R. MANGOENKOESOEMO 1832 – 1857

3. Tumenggung R. KERTONEGORO 1857 – 1863

4. Tumenggung TJOKROHADISOERDJO 1863 – 1869

5. Tumengung SOERJOHADIKOESOEMO 1869 – 1898

6. R. Tumenggung SOERJOHADINEGORO 1998 – 1919

7. Adipati R.A. SOSROHADIPRODJO 1920 – 1944

8. Bupati R. SINGGIH HADIPOERA 1944 – 1946

9. Bupati R. SOEMINDRO 1946 – 1950

10. Bupati R. KADRI 1950 – 1954

11. Bupati R. OEMAR SOERJOKOESOEMO 1955 – .

12. Bupati R. SANGIDI HADISOETIRTO 1955 – 1957

13. Kepala Daerah RAPINGOEN WIMBOHADI SOEDJONO 1957 – 1959

14. Bupati R. WIBOWO HELLY 1960 – 1967

15. Bupati Kepala Daerah Drs. DARODJAT A.N.S. 1967 – 1974

16. Pj. Bupati Kepala Daerah R. MARDJABAN 1974 – 1975

17. Bupati Kepala Daerah Drs. SOEKANTO 1975 – 1985

18. Bupati Kepala Daerah Drs. POEDJIHARDJO 1985 – 1990

19. Bupati Kepala Daerah Drs. H. SOEMADI 1990 – 1995

20. Bupati Kepala Daerah Drs. H. MARGONO 1995 – 2000

21. Bupati Drs. TRIMAWAN NUGROHADI 2000 - 2005

22. Bupati Drs. H. ABDUL KHOLIQ ARIF 2005 - sekarang